Siaranjabodetabek.com – Pemilihan Presiden dan anggota legislatif tahun 2024 akan segera dimulai 14 Februari mendatang, dan penting untuk menjalankannya dengan penuh kegembiraan sambil tetap menjaga netralitas dan integritas pemerintah terhadap semua calon presiden dan partai yang bersaing dalam proses demokrasi ini.
Pemilihan presiden ini diadakan dengan sukacita, tanpa mengesampingkan netralitas dan prinsip kejujuran serta keadilan dari pemerintah dalam memperlakukan semua calon presiden dan partai yang berpartisipasi dalam proses demokrasi tahun 2024 ini.
Menyikapi situasi tersebut, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Nasional Corruption Watch (NCW) mengadakan konferensi pers di Kantor DPP NCW yang terletak di Pancoran, Jakarta Selatan, pada hari Jumat, 2 Februari.
“Menurut kami di DPP NCW Jika Pemilu atau pesta demokrasi ini tidak dilakukan secara jujur dan adil serta Netralitas dari pemimpin bangsa ini, kami khawatirkan akan terjadi konflik yang tidak dinginkan oleh seluruh rakyat Indonesia,” ujar Ketua Umum DPP NCW Hanif Sutrisna dalam keterangannya.
Pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi mengenai dukungan kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh karena kedudukannya sebagai pejabat publik dan politik, dinilai tidak etis dan merusak sistem demokrasi yang telah berjalan dengan baik sejak era reformasi tahun 1998 menurut sejumlah pihak.
Menurut NCW, pernyataan seorang presiden yang menunjukkan ketidaknetralan nya dalam pemilihan presiden tahun 2024, jika dilihat dari Undang-Undang Nomor Tujuh Tahun 2017 secara literal, tidak melanggar ketentuan undang-undang tersebut.
“Namun yang kami sesalkan adalah ucapan tersebut keluar dari seorang Jokowi yang merupakan presiden republik Indonesia yang masih aktif dan melibatkan anak kandung dari Jokowi, Gibran Rakabuming Raka. Secara etika politik tindakan ini menurut berbagai kalangan pakar dan tokoh bangsa memperlihatkan bahwa Jokowi sangat haus dengan kekuasaan,” kata Hanif.
DPP NCW menerima banyak laporan dari masyarakat tentang dugaan intervensi dan intimidasi yang terjadi di kalangan aparat desa dan instansi pemerintah lain yang tidak mendukung pasangan calon yang didukung oleh pemerintah. Pelanggaran pemilu melalui intimidasi ini terlihat terorganisir, terstruktur, dan meluas (TSM) di berbagai wilayah.
DPP NCW bahkan menerima laporan yang lebih serius, dimana ada tawaran-tawaran menarik dari tim kampanye pasangan calon tertentu, yang menjanjikan imbalan sebesar 500 ribu hingga 1 juta rupiah kepada pemilih jika mereka mencoblos pasangan calon yang didukung oleh mereka, dengan syarat menunjukkan bukti coblosan di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Praktik politik uang ini, jika terorganisir, sistematis, dan meluas, merupakan tindak pidana dan bisa mengakibatkan diskualifikasi pasangan calon yang didukung, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
“Kami menghimbau masyarakat untuk lebih bijak dalam menentukan pilihan dan melaporkan setiap bujuk rayu politik uang yang bisa dijerat dengan hukuman pidana. Kami tahu bahwa uang sebesar itu sangat berarti bagi masyarakat yang membutuhkan, tapi jika salah pilih dapat mengorbankan nasib seluruh rakyat Indonesia selama 5 tahun ke depan,” lanjut Hanif.
Tingginya jumlah dugaan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang terjadi di kabinet Jokowi dan di sejumlah kepala pemerintah daerah selama sembilan tahun terakhir menunjukkan kurangnya efektivitas dalam upaya pencegahan, penanggulangan, dan penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi di Indonesia.
Kekhawatiran NCW terhadap politik uang sangat berdasar dengan banyaknya dumas yang menyampaikan ada pendukung salah satu paslon yang jaringan bisnisnya diduga kuat digunakan untuk membiayai kegiatan kampanye paslon tersebut.
“Rakyat sudah cukup muak dengan pelanggaran konstitusi dan etika berpolitik yang dipertontonkan dengan sengaja dan penuh kesombongan oleh tim kampanye paslon yang didukung oleh penguasa oligarki. Ini harus segera dihentikan,” pungkas Hanif.
DPP NCW memperhatikan penolakan terhadap pelanggaran konstitusi dan standar etika politik yang disuarakan oleh ratusan profesor dari universitas terkemuka di Indonesia sebagai indikasi kesalahan dalam interpretasi pemerintah Jokowi terhadap konsep demokrasi yang diupayakan pasca reformasi tahun 1998.
Terkait viralnya dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) saudara R yang diterima melalui dumas NCW sedang didalami.
DPP NCW akan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum (KPK, Kejagung, Polisi) serta PPATK guna menindaklanjuti aduan masyarakat tersebut.
“Kami menghimbau seluruh rakyat Indonesia untuk menjadi juri dan hakim yang adil dalam menentukan pilihan pemimpin 2024-2029, dan menjadi penegak keadilan dengan melaporkan setiap pelanggaran pemilu yang terjadi di daerah masing-masing,” tutup Hanif.