Industri farmasi nasional terus menunjukkan gairah usaha yang sehat sehingga menghasilkan produk yang berdaya saing global. Hal ini lantaran didukung kebijakan pemerintah yang probisnis melalui penciptaan iklim investasi yang kondusif serta adanya kemudahan perizinan dan insentif.
“Kami mengapresiasi sebesar-besarnya kepada PT. Bayer Indonesia yang selama lebih dari 60 tahun telah berkomitmen dan berkontribusi dalam membangun industri produk kesehatan nasional,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, Rabu (27/3).
Menperin menyampaikan hal itu pada acara Peresmian Pelepasan Kontainer Ekspor Ke-3000 dan Penyerahan Sertifikat Pelatihan Vokasi Mekatronik dari German Indonesian Chamber of Commerce & Industry (EKONID) untuk PT Bayer Indonesia dan Siswa SMK.
Airlangga menyampaikan, investasi yang ditanamkan PT. Bayer Indonesia dalam bentuk fasilitas modern dengan pemanfaatan teknologi canggih, telah memposisikan Indonesia sebagai produsen produk kesehatan yang memenuhi standar kualitas dunia. Bayer telah menanam investasi sebesar 100 juta Euro atau Rp1,6 triliun untuk membangun dan melengkapi fasilitas modern tersebut.
“Pabrik produk kesehatan Bayer di Cimanggis merupakan satu-satunya pabrik di wilayah ASEAN dan yang terbesar dengan nilai ekspor yang signifikan se-Asia Pasifik dan merupakan pusat produksi unggulan dari 12 pabrik Bayer di seluruh dunia,” paparnya.
Pada kesempatan ini, Menperin secara langsung melepas kontainer produk perawatan kesehatan PT. Bayer Indonesia yang ke-3000 untuk diekspor ke Eropa. Selama beberapa tahun terakhir, Bayer telah mengekspor berbagai produk kesehatan dari pabriknya yang berlokasi di Cimanggis, Depok dengan total nilai Rp3,9 triliun.
“Kami juga mengapresiasi kepada PT Bayer yang turut mengembangkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas kelas dunia melalui pelatihan vokasi mekatronik dengan siswa SMK. Apalagi, program ini mengikuti standar pelatihan vokasi Jerman dan diawasi oleh Kamar Dagang dan Industri Jerman,” tutur Airlangga.
Presiden Direktur PT Bayer Indonesia Angel Michael Evangelista mengemukakan, pihaknya berkomitmen untuk memproduksi produk kesehatan berstandar internasional. “Sebagai bagian utama dari jaringan fasilitas manufaktur global Bayer, pabrik Health Care Cimanggis kini mengekspor 80 persen produk-produknya ke-32 negara yang beberapa di antara memiliki regulasi farmasi yang paling ketat,” ungkapnya.
PT Bayer Indonesia juga mengoperasikan dua pabrik agrokimia yang berada di dua lokasi, yakni Surabaya dengan 30 persen kapasitas produksinya diekspor ke-10 negara dan di Tangerang dengan 35 persen dari total produksi diekspor ke empat negara.
“Tingginya permintaan dunia akan produk kesehatan membutuhkan SDM yang kompeten. Bayer mendukung agenda pemerintah dalam pengembangan SDM,” ujar Evangelista. Sebanyak 14 karyawan Bayer menerima sertifikasi sebagai pelatih pendidikan vokasi mekatronika dari EKONID selaku lembaga sertifikasi resmi yang mewakili KADIN Jerman (DIHK).
Dengan demikian, Bayer menjadi lembaga tersertifikasi untuk menyelenggarakan pelatihan vokasi mekatronika dengan standar Jerman di Indonesia. “Sebanyak 15 siswa SMK mengikuti pelatihan mekatronika di pabrik Bayer di Cimanggis, Depok. Pelatihan ini berlangsung selama tiga tahun dengan komposisi 35 persen teori di sekolah dan 65 persen praktik kerja di pabrik Bayer,” imbuhnya.
Masih prospektif
Pada kesempatan yang sama, Menperin menegaskan, pengembangan industri farmasi di Indonesia khususnya sektor yang menghasilkan produk kesehatan masih cukup prospektif. Peluang ini salah satunya dipacu karena adanya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan jumlah peserta sebanyak 217 juta jiwa.
“Tentu potensi tersebut menjadi kesempatan untuk pengembangan industri farmasi di Indonesia,” ujarnya. Apalagi, Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035 menyebutkan, industri farmasi dan bahan farmasi merupakan salah satu sektor manufaktur andalan yang mendapatkan prioritas pengembangan karena berperan besar sebagai penggerak utama perekonomian nasional.
“Sebagai sektor andalan masa depan, industri farmasi dan bahan farmasi, akan kami terus dorong pengembangannya melalui berbagai kemudahan dan insentif berupa pengurangan pajak maupun bea masuk yang ditanggung pemerintah serta bentuk insentif lainnya,” tutur Airlangga.
Hal itu didukung adanya Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Regulasi ini menginstruksikan 12 kementerian dan lembaga agar saling bersinergi dan mendukung dalam mendorong kemandirian obat nasional.
“Oleh karena itu, industri farmasi harus terus dipacu untuk ekspansi dan investasi baru. Sebab, untuk menekan impor perlu ada investasi, selain itu bea ekspor produk farmasi ke banyak negara masih nol persen sehingga menjadi potensi besar bagi Indonesia dalam pengembangan sektor ini,” paparnya.
Menperin menambahkan, sesuai arahan Presiden Joko Widodo, pemerintah konsisten untuk meningkatkan nilai ekspor dan mengurangi defisit melalui substitusi impor. “Pada tahun 2018, sektor nonmigas itu positif, sehingga harus terus digenjot agar sektor nonmigas berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional,” jelasnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, neraca perdagangan nonmigas Indonesia pada 2018 surplus. Surplus terjadi karena ekspor nonmigas yang sebesar 162,81 miliar dollar AS lebih besar dari impor nonmigas yang mencapai 158,842 miliar dollar AS.
“Negara seperti Uni Eropa, Korea, dan Australia tidak mengenakan bea impor untuk produk bio. Itulah yang membuat produk kita kompetitif,” ungkapnya. Apalagi, Indonesia sudah menandatangani CEPA dengan Australia dan EFTA, sehingga Indonesia berkomitmen untuk memperluas akses pasar.
Kemenperin mencatat, industri farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional tumbuh sebesar 4,46 persen dan memberikan kontribusi industri tersebut terhadap PDB industri pengolahan nonmigas sebesar 2,78 persen dan terus meningkat selama lima tahun terakhir.
“Industri farmasi adalah sektor yang memiliki karakteristik capital intensive, high technology, R&D intensive, heavily regulated, dan fragmented market,” sebutnya. Saat ini, industri farmasi di dalam negeri sebanyak 206 perusahaan, dan didominasi oleh 178 perusahaan swasta nasional, serta diikuti sebanyak 24 perusahaan Multi National Company (MNC) dan 4 perusahaan BUMN.
Industri farmasi dalam negeri termasuk industri yang telah lama berdiri dan mampu memenuhi 75 persen kebutuhan obat dalam negeri. “Saat ini, kami sudah punya dirjen khusus yang menangani farmasi. Jadi, sudah seharusnya Indonesia memperkuat industri farmasi, sehingga pemerintah akan kasih sejumlah fasilitas seperti super deductible tax untuk vokasi sebesar 200 persen dan inovasi 300 persen,” jelasnya.