siaranjabodetabek.com – Oleh Dindin Machfudz,
Jurnalis Senior/Penulis Terbaik Lomba Karya Tulis PTIK dan LIPI 1985 ttg Kamtibmas dan Kepolisian
BELAKANGAN ini kita dikejutkan oleh berita memilukan dan miris, yaitu tentang pengeroyokan sekelompok massa terhadap satu orang lanjut usia pengendara mobil hingga babak belur dan tewas beberapa saat kemudian. Pemilik dan pengendara mobil tersebut tiba-tiba saja diteriaki maling oleh seseorang provokator yang menyebabkan sejumlah orang segera mengejarnya dan dengan bringas lalu menghajar sang kakek berusia 86 tahun itu di samping merusak mobilnya. Tidak berapa lama hal serupa, yaitu pengeroyokan dengan bringas, menimpa seorang pengendara mobil sedan mewah. Gegara ribut dengan tukang parkir di parkiran sebuah restoran, lalu sang tukang parkir memanggil konconya dan kemudian dengan bringas rame-rame memukul serta menghancurkan kaca mobil dan bodi mobilnya hingga berantakkan.
Dari dua peristiwa “kebringasan” di atas kiranya mengindikasikan : Pertama, begitu mudahnya massa tersulut dan terpancing emosinya tanpa sikap hati-hati dan cek n ricek serta main “gebuk”. Kedua, ada gejala atau fenomena kesamaan rasa benci dan muak terhadap sosok maling, begal, perampok. Ketiga, mudahnya main hakim sendiri yang boleh jadi disebabkan merosotnya kepuasan dan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja institusi penegak hukum. Keempat, dan ini yang paling mengkhawatirkan, adalah diam-diam tumbuhnya kesamaan rasa benci terhadap orang kaya atau makmur di jalanan.
Pertanyaan kita, kenapa peristiwa kebringasan dan primitif yang berakibat hilangnya nyawa, harta benda dan kerugian lainnya tersebut kudu terjadi di bumi Pertiwi tercinta?!
Terus terang penulis jadi teringat kepada pernyataan dosen Psikologi di Fikom Unpad yang cantik, Bu Arlina Gunarya pada awal tahun 1970-an silam. Beliau memaparkan ihwal terbentuknya kerumunan massa atau Crowd yang bercirikan : secara fisik berdekatan, anonim, tidak saling mengenal, identitas diri tidak diketahui, daya pertimbangan nalar atau akal merosot, cenderung melanggar norma sosial, norma moral, norma hukum, norma budaya, norma etika, bahkan mudah terpancing emosinya, mudah terprovokasi untuk bertindak liar, brutal, bringas, primitif jika ada komando di antara kerumunan tersebut.
Pakar Psikologi Sosial, David O. Sears bilang, “Faktor pokoknya adalah anonimitas. Segala sesuatu yang membuat angota kelompok kurang dapat dikenali secara pribadi akan menyebabkan meningkatnya pengaruh itu (provokasi dan agitasi). Semakin anonim dan semakin kurang memiliki identitas pribadi, semakin tidak bertanggung jawab perilakunya.” Lebih lanjut Sears mengemukakan, dalam suatu mob, kebanyakan orang memang tidak tampil sebagai individu (David O. Sears, dkk, Psikologi Sosial, 1992).
Tentu saja tidak semua kerumunan Crowd menghasilkan tindakan bringas, brutal, agresif. Hal ini tampak pada acara “ririungan” Reuni Akbar 212 dan Sholat Jumat Berjamaah tahun 2018 yang tertib, santun, disiplin, apik di kawasan Monas, Patung Kuda, Thamrin, depan Balaikota DKI, Gambir, Ridwan Rais yang diikuti oleh 7 – 10 juta Umat Islam dari berbagai pelosok negeri. Pada waktu itu tidak ada kebringasan dan kebrutalan tersebut, bahkan tanaman hias pun aman tak tersentuh atau rusak. Tidak ada pula sampah berserakan. Luar biasa. Aneh tapi nyata. Dunia luar pun kagum pisan. Buzzer dan sejumlah influencer yang mencari fulus dari tipu daya pun terheran-heran. Mereka pada “mlongo” habis.
Apakah tindak kriminalitas/kejahatan itu berkaitan erat dengan kondisi sosial-ekonomi (baca : kemakmuran) suatu bangsa atau negeri?! Data global setidaknya menunjukkan demikian. Setidaknya di negeri makmur seperti Qatar dan Uni Emirat Arab, de facto tindak kejahatannya sedikit bahkan nyaris nol. Dari data Sepuluh Negara yang tingkat kriminalitasnya rendah, umumnya adalah negara makmur dengan kondisi ekonominya baik.
Berikut Sepuluh Negara yang Rendah Indeks Kriminalitasnya per 2021 adalah :
1. Qatar 12,13 poin
2. Uni Emirat Arab 15,2
3. Taiwan 15,56
4. Pulau Man 19,25
5. Oman 20,34
6. Swiss 21,62
7. Hong Kong 22,0
8. Jepang 22,19
9. Slovenia 22,28
10.Armenia 22,79
(Sumber : Numbeo, dikutip databoks, 2021). Negara makmur Brunei Darussalam kemungkinan di posisi 1 atau 2, tapi tidak disurvai.
Ada pun Sepuluh Negara Tertinggi Indeks Kriminalitasnya adalah :
1. Venezuela 83, 76 poin
2. Papua Nugini 80,79
3. Afrika Selatan 76,86
4. Afganistan 76,31
5. Honduras 74,54
6. Trinidad & Tobago 71,63
7. Guyana 68 74
8. El-Savador 67,79
9. Brazil 67,49
10.Jamaika 67,42
(Kompas.com, 2021).
Lantas, di mana posisi Indonesia? Menurut Numbeo posisi Indonesia ada di ranking 65 dengan indeks 45, 93 poin dari total 137 negara yang disurvai. Sementara menurut Kapolri, Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo, angka kriminalitas yang dilaporkan cenderung menurun dalam kurun waktu tiga tahun terakhir sejak 2019.
Kebringasan, kebrutalan atau agresivitas massa tersebut sesungguhnya tidak perlu terjadi seandainya memandang rasa lapar adalah jalan mendekatkan diri ke hadirat Allah dan sesama manusia, serta selalu ingat kepada kehambaan dirinya dan Maha Akbar sang Penciptanya yang selalu hadir di dekat dirinya, tidak mengantuk, dan tidak pernah tidur. Dalam Ayat Kursi Allah mengingatkan :
“Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, yang terus menerus mengurus makhluk-Nya, tidak mengantuk dan tidak tidur. Miliknya apa yang ada di langit dan di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka, dan apa yang di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Mahatinggi, Mahabesar,” QS Al-Baqarah : 255.
Rasulullah Saw dalam salah satu hadisnya mengatakan, “Sebaik-baik manusia di antara kalian adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain,” (HR Bukhari). Sementara Guru Besar Tasawuf Ibnu Athailah Al-Sakandari dalam bukunya yang masyhur Al-Hikam bertutur : “Orang yang cinta kepada-Nya (Allah), tidak akan bisa terkontaminasi oleh apa pun.” Lagi pula, apa yang ada dalam dada setiap hamba-Nya pasti akan direview dan diminta pertanggungjawabannya kelak, sebagaimana pesan Allah dalam QS Al-Adiyat ayat 10. Begitu juga pemimpin negeri. Mereka, yaitu Parlemen dan Pimpinan Eksekutif akan ditanya Tuhan : kenapa di saat rakyat susah begini dan cekak, kalian malah hendak membangun ibu kota baru dengan biaya dari APBN pula? Kenapa di saat kalian ambisius sedang membangun kereta cepat Ibukota Jakarta – Bandung, Ibukotanya malah mau dipindahkan?! Kenapa pula di saat membahas RUU Haluan Ideologi Pancasila, kalian malah mau memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila?! Kenapa pula di saat hendak menggolkan RUU KUHP asli buatan anak bangsa, kalian malah akan menghidupkan kembali pasal buatan kolonial Belanda khususnya tentang larangan kritik terhadap Presiden?! Kenapa pula Konstitusi yang menjamin hak warga negara untuk berpendapat, berkumpul dan mendirikan ormas, kalian malah membajaknya dan menerbitkan Perppu yang sejatinya antitesis terhadap Undang Undang Dasar 1945 dan Demokrasi?! Demikianlah sejumput paradoks di negeri tercinta, yang intinya kagak nyambungnya antara problema bangsa dan solusinya. **