Mengenali Perbedaan Antara Politisi dan Cendekiawan

berita, Headline35 Dilihat

Siaranjabodetabek.com – Perbedaan antara cendekiawan dan politisi sangat mencolok mata. Cendekiawan berorientasi pada benar atau salah. Sementara politisi berorientasi pada menang atau kalah. Tulisan ini bermaksud menegaskan delapan ciri cendekiawan.

Seseorang dapat dianggap sebagai cendekiawan apabila mampu berpikir secara empirik. Artinya apa yang diungkap dihasilkan melalui proses penelitian (baik penelitian perpustakaan maupun lapangan).

Siapa saja boleh disebut cendekiawan apabila informasi yang dituturkan didapat melalui proses pengamatan (individual maupun kelompok) dan percobaan berkali-kali hingga menghasilkan sebuah konsep dan teori.

Kedua, seorang cendekiawan harus dapat berpikir secara sistematis (runut dan runtut). Maksudnya, pemikirannya dibangun dan diatur secara terencana dengan suatu metode berpikir ilmiah yang objektif sehingga mudah dipelajari bagi siapa saja.

Politisi kerap dikatakan berpikir subjektif. Kendati tak jarang juga yang berpikir objektif. Tapi demi kalkulasi kemenangan, tak jarang ada yang menggusur objektivitas. Bagi politisi itu sah saja. Tapi bagi cendekiawan terlarang.

Ketiga, seorang cendekiawan harus mampu membedakan persoalan pokok dan cabang. Seorang cendekiawan bisa menguraikan keduanya (pokok dan cabang) secara tepat sehingga terlihat hubungan, persamaan, dan perbedaan secara komprehensif. Inilah yang dikatakan bahwa cendekiawan berpikir secara analitik.

Keempat, seperti sudah disinggung di atas, cendekiawan harus dapat berpikir objektif. Artinya pemikirannya tidak bias dan harus terbebas dari kepentingan tertentu. Siapa saja baru disebut cendekiawan apabila apa yang diungkap berdasar fakta, bukan fiksi atau emosi. Selain itu yang dimaksud objektif dalam konteks ini adalah tidak dipengaruhi oleh pandangan internal.

Kelima, seorang cendekiawan harus mampu melakukan pembuktian atas segala sesuatu. Jadi cendekiawan harus mampu melakukan verifikasi. Konsep dan teori yang dibangun didukung oleh fakta.

Intinya, apa saja yang dicercah oleh cendekiawan harus dapat diuji kebenarannya berdasarkan fakta dan data yang ada. Tentu hal ini tidak jadi keharusan bagi seorang politisi.

Keenam, sifat lain yang diandalkan pada diri cendekiawan adalah mampu berpikir kritis. Karena itu, pemikiran yang ditoreh dihasilkan dari sebuah proses mendalam yang melibatkan analisis dan evaluasi yang teliti. Kritis adalah cara berpikir ilmiah untuk merespons fenomena. Dalam konteks ini, dapat ditemukan juga politisi yang kritis

Ketujuh, cendekiawan tidak boleh melanggar kaidah ilmu pengetahuan. Artinya kerangka pikir seorang cendekiawan haruslah sistematik, objektif, rasional, dan empirik. Kecakapan ini semestinya ada juga pada diri politisi.

Kedelapan, buah pikir seorang cendekiawan harus bersifat logis. Artinya apa saja yang dicercah seorang cendekiawan harus sesuai dengan logika, benar dalam penalaran, dan masuk akal. Politisi terkadang tidak seperti ini. Ada pemeo, seorang politisi terkadang membangun jembatan di tempat yang tidak ada sungai. Namun politisi bisa jadi cendekiawan. Atau cendekiawan boleh jadi politisi.

Ringkasnya, inilah delapan ciri cendekiawan yang masih dapat ditambah, yakni mampu berpikir secara empirik, sistematis, analitis, objektif, verifikatif, kritis, ilmiah, dan logis.

Penulis: Dr KH Syamsul Yakin MA, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

News Feed