Siaranjabodetabek.com – Setelah tiga bulan pasca pemilihan presiden dan anggota legislatif pada pemilu 14 Februari 2024 yang lalu, berbagai permasalahan datang silih berganti, bencana alam timbul dimana-mana, harga-harga kebutuhan pokok terus menanjak naik.
Seolah-olah derita rakyat Indonesia telah diatur skenario tayangnya, sehingga muncul persepsi negatif di kalangan masyarakat sipil bahwa diakhir pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin tidak “happy ending” dan banyak meninggalkan pekerjaan rumah bagi Prabowo-Gibran sebagai Presiden/Wakil Presiden terpilih 2024-2029.
Ketidakpastian hukum dan konflik hukum merebak ditengah ketidakpastian kondisi politik di tanah air.
Dimulai dari perselisihan pilpres di Mahkamah Konstitusi yang berakhir dengan ditolaknya gugatan paslon 01 Anies-Muhaimin dan paslon 03 Ganjar-Mahfud, dugaan mega korupsi PT. Timah Tbk yang merugikan negara hingga Rp271 triliun yang melibatkan 16 tersangka, dugaan korupsi emas PT. Antam Tbk seberat 1.136 kilogram emas yang merugikan negara senilai Rp1,266 triliun, buruknya kinerja Bea Cukai karena tindakan oknum yang merugikan rakyat Indonesia yang keluar dan kembali ke Indonesia.
Kemudian dugaan korupsi lelang tambang PT Gunung Bara Utama oleh PPA Kejaksaan Agung (Kejagung) yang berpotensi rugikan negara Rp9,7 triliun, berikutnya kehebohan Jampidus yang diduga dikuntit oleh anggota Detasemen Khusus 88 (Densus 88) hingga kasus pembunuhan Vina-Egi di Cirebon 8 tahun silam yang kembali viral karena diduga lemahnya penegakkan hukum di Indonesia.
Viralnya konflik hukum yang melibatkan sesama aparat penegak hukum (APH) belakangan ini.
Selama sepekan ini DPP Nasional Corruption Watch (NCW) mendapatkan pengaduan masyarakat dan informasi rahasia dari sumber terpercaya bahwa peristiwa dugaan Jampidsus “dikuntit”oleh anggota Densus 88 yang viral di media sosial.
Bermula dari adanya dugaan suap yang melibatkan oknum aparat di Kejaksaan Agung (Kejagung) yang diduga terlibat langsung dalam penanganan kasus dugaan ‘mega korupsi’ PT Timah Tbk sebesar yang merugikan negara hingga Rp271 triliun.
Sumber informasi rahasia NCW juga mengungkapkan adanya dugaan suap yang melibatkan oknum pejabat Kejagung terkait lelang 1 paket saham PT Gunung Bara Utama (GBU) senilai Rp1,945 triliun yang dilelang oleh Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Agung (PPA Kejagung) tahun 2023 silam yang merupakan harta rampasan kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya.
Keputusan lelang tersebut diduga berpotensi merugikan negara hingga Rp9,7 triliun menurut Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamat Tambang (KSST).
Menanggapi semua hal diatas, DPP NCW menggelar konferensi pers yang digelar di Kantor DPP NCW, Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa (28/5/2024).
Menurut Ketum DPP NCW, “apa yang terjadi saat ini pasti ada pemicunya, tidak mungkin ada asap jika tidak ada api”, ujar Hanifa Sutrisna Ketua Umum DPP (NCW).
Menurut sumber informasi terpercaya yang diterima DPP NCW, merebaknya kegaduhan antar institusi penegak hukum (Polri-Kejagung) karena adanya dugaan suap yang melibatkan mafia hukum dan oknum Kejagung pada kasus dugaan korupsi di PT Timah Tbk dan dugaan suap yang diterima oleh oknum PPA Kejagung pada lelang saham PT GBU pada tahun 2023 silam.
Sehingga diduga, pihak kepolisian sebagai institusi penegakkan hukum melakukan penyelidikan lebih dalam guna mengungkap dugaan suap tersebut.
“Kegiatan penyelidikan teman-teman Polri menindaklanjuti adanya dugaan “suap” hal yang biasa saja, bahkan KPK-RI sebagai lembaga anti rasuah harus turun tangan mengungkap isu suap ini, bukan hanya menjadi ‘penonton’. Jangan dibawa ke ranah konflik antar lembaga lah jika memang tidak berbuat,” ujar Hanif.
Simpang siur pemberitaan dan tidak kunjung menemui titik terangnya terkait siapa pelaku utama atau otak kejahatan (mind master) korupsi timah yang merugikan negara Rp271 triliun.
Hal itu membuat publik menjadi curiga dan mulai meragukan Kejagung akan secara terang benderang mengungkap pelaku utamanya.
Bahkan DPP NCW mendapat informasi, bahwa ada beberapa nama penerima manfaat (pemegang saham) perusahaan yang terlibat dugaan korupsi dimaksud belum diperiksa sama sekali oleh Kejagung.
Salah satu nama yang mengemuka berinisial MK atau MT yang diduga pemegang saham dari beberapa perusahaan swasta yang diduga terlibat dugaan kasus korupsi Timah Tbk tersebut, bahkan hingga detik ini belum dipanggil sebagai saksi.
“Kami menerima informasi rahasia bahwa oknum petinggi di Kejagung diduga menerima suap lebih dari Rp200 miliar agar beberapa orang saksi kasus dugaan korupsi Rp271 triliun PT Timah Tbk tidak dinaikkan statusnya sebagai tersangka (RBS dan SD), bahkan MK atau MT sebagai penerima manfaat (pemegang saham) belum dipanggil sebagai saksi,” ungkap Hanif.
DPP NCW memaparkan informasi rahasia yang masuk telah dikaji secara internal dengan melihat fakta-fakta di lapangan.
selain itu, DPP NCW menduga bahwa peristiwa dikuntitnya Jampidus Febrie Adriansyah motifnya bukanlah “balas dendam atau kontra intelijen” dari mabes Polri.
Akan tetapi penyelidikan biasa karena adanya dugaan oknum mantan petinggi Polri dan petinggi Kejagung yang terlibat dalam pusaran dugaan korupsi Rp271 triliun PT Timah Tbk, dan adanya dugaan suap pada 2(dua) kasus korupsi yang melibatkan oknum Kejagung.
“Jika memang para jaksa di Kejagung merasa “bersih” dalam menangani kasus mega korupsi yang merugikan negara puluhan hingga ratusan triliun tersebut, kenapa harus risih dan membuat seolah-olah ada institusi lain merasa gerah?,” tanya Hanif.
NCW juga merasakan adanya keanehan pada KPK-RI, karena dalam kasus-kasus mega korupsi yang sudah ditangani oleh Kejagung sepertinya “enggan terlibat” atau kurang sinergitasnya,” ungkap hanif.
Selain memaparkan potensi konflik yang bisa terjadi antar institusi penegak hukum, DPP NCW juga menyampaikan kritikan kepada Presiden Jokowi yang terlihat kurang ‘sensitif’ dan terlihat tidak fokus lagi menangani permasalahan korupsi yang menerpa pemerintahan Jokowi periode kedua.
“Presiden Jokowi seharusnya mengambil alih komando, jika ada potensi konflik antar institusi yang mungkin bisa meluas ke ranah politik dan menurunkan kepercayaan investor terhadap adanya kepastian hukum di Indonesia,” tutur Hanif.
“Jika memang terindikasi menerima “suap” oknum pejabat di Kejagung atau di lembaga penegakkan hukum lain, tinggal ganti dengan pejabat yang lebih “bersih dan bermoral” tentunya,” lanjut hanif.
Awak media menyoroti adanya pemberitaan yang menyinggung dugaan keterlibatan anak Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dan putra Presiden Jokowi dalam pusaran korupsi timah yang merugikan negara hingga Rp271 triliun, apa ada bocoran informasi dari Ketum NCW?
“Kami di DPP NCW belum menerima informasi terkait keterlibatan langsung anak Presiden dan anak Kepala BIN dalam kasus korupsi Timah Tbk ini, namun berdasarkan informasi yang berhasil kami kumpulkan, nama Budi Gunawan (BG) memang sering dicatut oleh oknum-oknum yang berkonflik dengan hukum, dengan harapan jika membawa nama Presiden dan KaBIN, terduga pelaku bisa terlepas dari jeratan hukum. Isu ini sangat kental nuansa politiknya menurut hemat saya”, jelas hanif kepada awak media.
Ketum NCW menduga bahwa, isu keterlibatan anak petinggi BIN ini sengaja dihembuskan oleh oknum mantan jenderal yang namanya disebut berinisial “B” dan “T” sebagai pengalihan isu.
Seperti yang disampaikan Ketum DPP NCW beberapa waktu yang lalu, bahwa oknum pensiunan jenderal “B” dan “T” diduga terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kasus mega korupsi Timah Tbk yang merugikan negara hingga Rp271 triliun.
“Isu keterlibatan anak presiden dan anak Kepala BIN, menurut kami hanyalah pengalihan isu atas dugaan keterlibatan oknum mantan jenderal “B” dan “T”, atau kuat dugaan kami, isu ini dihembuskan sendiri oleh oknum Kejagung yang namanya terseret dugaan penerima suap dari para mafia hukum,” lanjut hanif menjelaskan.
DPP NCW menghimbau Jaksa Agung, Kapolri dan KPK-RI agar saling bersinergi mengungkap dugaan penerimaan suap yang melibatkan oknum petinggi Kejagung pada penanganan kasus korupsi PT Timah Tbk dan dugaan suap lelang aset rampasan kasus korupsi Asuransi Jiwasraya. Kondisi ini jika terus dibiarkan berkembang, berpotensi memperburuk citra penegakkan hukum di Indonesia.
“Jika cukup dua alat bukti, segera tangkap oknum pejabat beserta orang-orang yang terlibat dalam dugaan skandal suap tersebut. Indonesia harus bersih dari KKN sebelum tahun 2045,” ujar Hanif.
“Jadikan kasus pembunuhan Vina-Egi di Cirebon yang dinilai ‘tidak transparan’ sebagai pembelajaran ‘pentingnya profesionalitas’ bagi kita semua,” lanjut Hanif mengakhiri pembicaraan.