Rizal Haidar Fikri

(Mahasiswa Prodi Hukum UNIMUDA Sorong)

 

Negara Indonesia merupakan negara yang sangat tinggi menjunjung nilai demokrasi, dari system ini siapapun orangnya bisa menjadi pemimpin dinegara baik di tingkat atas maupun sampai bawah asalkan memiliki mayoritas dukungan dari rakyat pada umumnya, namun dibalik itu ada sebuah harga yang mahal untuk bisa menduduki jabatan tersebut, sehingga pendekatan pendekatan lobby politik diperlukan. Sehingga ketika menjabat sebagai pemimpin maka harus ada pemenuhan janji terhadap pendukungnya yang harus dilaksanakan, Tak jarang berbagai kasus korupsi mayoritas melibatkan kalangan para politisi, dari masa ke masa sejak era orde baru hingga sampai saat ini perbuatan korupsi oleh para wakil wakil rakyat seakan akan tidak ada habisnya terdengar di media massa.

Jika dicermati lebih dalam maka akan timbul pertanyaan, mengapa prilaku korupsi ini seakan akan tiada henti dan habisnya, sebenarnya apa yang salah dalam hal ini, dari sisi regulasi kita sudah memiliki UU Nomor. 31 Tahun 1999 Jo. UU NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. Bahkan didalam regulasi ini sampai di ancamkan hukuman mati terhadap koruptor yang melakukan tindakan korupsi ketika Negara sedang mengalami hal tertentu, adapun maksud dari hal tertentu tersebut ketika Negara dalam keadaan yang berbahaya sesuai undang undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, atau Negara pada waktu Negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Jadi bisa diungkapkan bahwa ada ancaman yang sangat besar bagi koruptor apabila melakukan hal tersebut disaat Negara dalam keadaan tertentu.

Saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami bencana nasional non alam yang berdampak pada krisis kesehatan dan ekonomi yang disebabkan oleh covid 19 sehingga siapa saja yang melakukan tindakan korupsi di saat seperti ini bisa diancam hukuman mati sesuai peraturan mengenai tipikor.  Sejak masa darurat covid 19 ini sudah terjaring beberapa wakil rakyat yang melakukan korupsi mulai dari menteri hingga kepala daerah, hanya saja masih membutuhkan waktu proses pembelaan dan pembuktian oleh tersangka.

Berdasarkan pendapat penulis mengapa prilaku korupsi oleh wakil rakyat atau pejabat pulik ini dari masa kemasa selalu tidak ada habisnya ini disebabkan adanya celah dari UU TIPIKOR tersebut yang menjadi masalah dalam penerapan tersebut terdapat pada pasal 2 dan pasal 3 yang jika di amati secara spesifik memiliki dampak hukum yang berbeda, perbedaan tersebut terletak pada sanksi yang dijatuhkan. Dipasal 2 sanksi yang diancamkan mulai dari penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan maksimal 20 tahun, sedangkan pada pasal 3 sanksi penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun. Berdasarkan konstitusi kita bahwa setiap orang itu memiliki hak yang dijamin oleh Negara untuk bisa mendapatkan bantuan hukum oleh penasehat hukum sehingga para koruptor ini menggunakan penasehat hukum untuk sebisa mungkin meminimalisir sanksi yang diberikan oleh hakim.

Untuk penerapan sanksi berupa hukuman mati memang sudah tercantum didalam UU tipikor, namun memerlukan kajian pembuktian didalam persidangan, penerapan hukuman mati ini sudah tentu menjadi angin segar bagi masyarakat, diharapkan dengan adanya pemberlakuan hukuman mati ini bisa menjadi peristiwa penyadaran bagi pejabat publik yang memangku kewenangannya masing masing, kejahatan korupsi ini merupakan kejahatan kemanusiaan sehingga sangat pantas jika diberlakukan sanksi yang berat terhadap para pelakunya.

Berdasarkan pendapat Prof. Artidjo Alkostar  bahwa diatas hukum ada hukum, yakni akal sehat dan kepatutan. Beliau mengatakan kejahatan korupsi bukan hanya merugikan keuangan Negara tetapi juga merampas hak warga masyarakat. Pada masa beliau menjabat sebagai Hakim MA, beliau selalu menerapkan pasal yang berat terhadap para koruptor yang melakukan kasasi ke MA. Anggapan jika kasasi ke MA akan diringankan hukumannya, namun sebaliknya, hukuman yang dijatuhkan malah semakin berat. Bahkan beliau juga tidak sedikit mencabut hak politik koruptor sebagai sanksi tambahan.  Putusan yang semacam ini mendapat apresiasi positif dari masyarakat, dan sangat banyak masyarakat yang setuju dan mendukung apabila koruptor dihukum sangat berat.

Korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan yang merugikan Negara dan masyarakat, regulasi yang sudah terapkan terbukti belum mampu meminimalisir jumlah pelaku korupsi, namun didalam regulasi yang sudah diterapkan saat ini memiliki pengecualian apabila perbuatan korupsi itu dilakukan ketika Negara sedang mengalami krisis, dan seperti kita ketahui bersama bahwa saat ini Negara Indonesia sedang mengalami krisis kesehatan maupun ekonomi sehingga perbuatan korupsi yang dilakukan saat ini bisa detetapkan sanksi hukuman mati.

Sebuah bangsa yang besar tidak akan maju hingga mampu mengatasi problematika korupsi, dengan kekayaan alam dan berbagai potensi yang dimiliki Negara Indonesia seharusnya mampu membuat kesejahteraan kepada masyarakat secara luas hingga pelosok negeri. Sampai saat ini tigkat pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh kalangan yang mampu, masih belum bisa dirasakan masyarakat kecil, selain itu akses kesehatan juga tidak sepenuhnya menjangkau masyarakat kecil dan banyak lagi beberapa masalah yang ada di negeri ini.

Saat ini perlu suatu terobosan yang baru bagaimana menekan jumlah kasus korupsi yang ada di Indonesia, diperlukan suatu sanksi yang menimbulkan efek jera bagi para koruptor ini, seperti hukuman mati. Jika di sandingkan dengan konstitusi sebenarnya hukuman mati ini melanggar hak asasi manusia, namun jika pernyataan tersebut dibalik bukankah perilaku korupsi itu juga melanggar hak asasi orang lain bahkan secara luas dan besar. Penulis disini memiliki sebuah pendapat bahwa perilaku korupsi ini sudah menjadi budaya bagi bangsa ini, maka dari itu perlu adanya pemikiran perubahan untuk bangsa ini khususnya untuk masalah korupsi.;

Mata kuliah dan mata pelajaran Pendidikan Anti korupsi, wajib diajarkan di lingkup sekolah dan universitas. pendidikan anti korupsi diharapkan mampu memberikan efek yang signifikan untuk menanamkan nilai nilai kejujuran bagi para kaum pelajar maupun mahasiswa, diharapkan generasi bangsa ini ketika menjadi pemimpin di masa yang akan datang, mampu memiliki integritas dan kejujuran dalam menjalankan amanah kepemimpinan.

Perlunya Sanksi pencabutan hak politik. Sehingga para koruptor ini tidak memiliki kesempatan lagi menjadi bagian dari pemerintahan, namun selama ini yang mampu memberikan sanksi ini hanya Mahkamah Agung saja, peradilan dibawahnya tidak ada yang berani menetapkan sanksi seperti ini. Mirisnya masih banyak koruptor ketika sudah bebas dari hukumannya, mencalonkan diri lagi menjadi wakil rakyat.

Perlunya sanksi sosial bagi para koruptor, disini penulis beranggapan bahwa sanksi yang ada di UU Tipikor mayoritas hanya menegakkan pidana penjara dan denda, disini bentuk sanksi sosial seperti menyapu dipinggir jalan, membersihkan sampah bahkan sampai membersihkan selokan yang kotor, sehingga masyarakat bisa melihatnya, untuk menimbulkan rasa malu bagi pelaku korupsi ini.

Perlu adanya transparansi harta kekayaan pejabat publik dan pelaporan harta kekayaan tiap tahunnya sehingga bisa diketahui adanya aliran dana yang mencurigakan.

Perlunya penerapan pidana mati untuk koruptor sehingga dapat menjadi contoh untuk tidak melakukan tindakan korupsi. Walaupun penerapan sanksi ini harus melihat situasi dan kondisi Negara.

 

 

 

 

 

News Feed